Selasa, 01 Mei 2018

ILC - M Sholehuddin : Praperadilan Menetapkan Tersangka E-KTP


Oleh M. Sholehuddin, Pakar Hukum Pidana
ditulis ulang oleh imraan



****
Saya menyimak semua penjelasan dari para pakar semuanya sebenarnya ini. Pakar dibidang masing-masing. Saya selaku akademisi, saya akan membahas terutama tema yang sekarang ditentukan sekarang oleh ILC yang berupa pertanyaan berwenangkah praperadilan menetapkan Boediono tersangka. Jadi kita harus melihat dulu. Melihat apa putusan dari praperadilan ini.
Jadi kalau berwenangkah praperadilan menetapkan Boediono (ed:sebagai) tersangka, kalau secara normatif, jawabannya tidak berwenang. Tidak berwenang. Kalau secara normatif karena penetapan tersangka itu jelas oleh penyidik yang didukung oleh dua alat bukti dan sudah diperiksa lalu kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi saya melihat karena begitu putusan praperadilan ini muncul tanggal 9 April. Terbit. sebagai akademisi, semua, di group, maupun di mahasiswa saya semua membahas. Tetapi saya ingatkan, karena saya mengajar Hukum Acara Pidana. Dan setiap saya mengajar Hukum Acara Pidana, itu selalu saya, harus mahasiswa itu ujian mud court ujian peradilan semu. Jadi Ada yang menjadi pengacara, ada yang menjadi penuntut umum, ada yang menjadi hakim, ada yang jadi penyidik, ada yang menjadi terdakwa. Andai saja pemohon praperadilan ini mahasiswa saya, dan hakimnya juga mahasiswa saya, maka saya sebagai dosen, akan saya beri nilai A.

itu artinya apa ? 
seorang dosen harus beralasan. Karena permohonan praperadilan ini dan substansi dari putusan hakim praperadilan ini, PN Jaksel , Jakarta selatan. Itu memuat dengan cukup baik dan benar tentang argumentasi hukum, penalaran hukum, logika hukum, sehingga menarik untuk dipersoalkan atau didiskusikan yang mau-tidak mau harus mengacu kepada filsafat hukum dan teori hukum, karena ini masalah penerapan hukum. Jadi disini muncul sebenarnya di dalam praperadilan ini masalah penerapan hukum. Ada tiga masalah penerapan hukum, yang pertama itu soal interpretasi hukum.

Ketika kita menerapkan hukum, itu pasti ada tiga persoalan. Yang pertama adalah interpretasi hukum. Kita harus tahu interpretasi hukum itu apa. Kalau dalam hukum pidana misalnya, gramatical interpretation, systematical interpretation, historical interpretation dan seterusnya. Jadi itu persoalan interpretasi. Mengapa ?

Karena penerapan hukum, norma itu ibaratnya mati, dia. Ketika in action, ketika dihadapkan dalam persoalan-persoalan hukum, masalah-masalah hukum, maka norma itu tidak bisa segera menjawab.  Tidak bisa dia segera menyelesaikan.

Contoh bagaimana pemohon praperadilan ini, MAKI ini, masyarakat anti korupsi Indonesia, dia mewakili, bagaimana akan mengajukan permohonan praperadilan ketika normanya tidak mengatur. KPK tidak bisa mengeluarkan surat penghentian penyidikan padahal persoalannya yang akan dimohonkan dalam kurung yang akan digugat adalah penghentian penyididkan materiil. Artinya kasus ini diambangkan. Dia kesulitan secara normatif. Inilah penerapan hukum. Makanya tadi saya katakan saya beri nilai A ini.
Ini soal interpretasi hukum dan yang kedua soal kekosongan hukum. Ini mengisi kekosongan hukum. Bagaimana dia ? kenapa dia bisa ?

Makanya saya baca waktu itu saya belum kenal dengan mas Bunyamin ini. Cuma saya baca gugatannya. ini bagus ini. Ini anak-anak bangsa. Anak-anak muda ini. Masih S1 tapi argumentasi hukumnya bagus. Belum lulus S2 ya? Sekolah terus saya sarankan karena argumentasi hukum Anda bagus sekali. Penalaran hukum Anda bagus. Logika hukum Anda bagus. Sekolah terus itu. Jadi itu bagus itu.

Jadi ada .. ada .. apa ya. Bisa A+ nanti
Kekosongan hukum. Masalah penerapan hukum yang kedua adalah kekosongan hukum. Bagaimana kekosongan hukum itu bisa di isi itu karena dia punya argumentasi dan penalaran hukum yang cukup bagus. Karena ini penerapan hukum. Dia gugat saja dia. Dia ajukan permohonan praperadilan. Bagaimaana bisa ? KPK gak bisa kok. Gak boleh menghentikan penyidikan. Tapi dia gugat saja dengan berbagai argumentasi hukumnya. Penalaran hukumnya dia tuangkan didalam surat permohonan itu. Untungnya ketemu hakim yang memang argumentasi, penalaran dan logika hukumnya sebanding dan bahkan melebihi. Ketika hakim tidak punya argumentasi, penalaran hukum dan logika hukum yang cukup baik, apalagi  filsafat hukum dan teori hukum maka dia akan bertolak dari dogmatik hukum. Woa ini gk ada kok pasalnya, ya sudah ditolak. Digugurkan atau tidak diterima, begitu. Sama dengan ketika, oh ini diajukan praperadilan. Belum selesai, sudah diajukan pokok perkaranya. Ya sudah digugurkan. Ini pandangan positifistik legalistik. Tidak akan pernah mengisi kekosongan hukum.

Masalah penerapan hukum yang ketiga adalah soal antinomy hukum. Soal Kekaburan hukum. Sebab norma-norma itu bisa banyak yang kabur bahkan antinomy dia. Ada pertentangan norma. Kabur contohnya. Ketika di atur didalam KUHAP bahwa penangkapan atau penahanan atau penetapan tersangka harus berdasar permulaan bukti yang cukup. Harus bukti yang cukup. Itu contoh norma kabur. Maka betul itu ketika diajukan ke MK, lalu MK memutuskan harus dimaknai bukti permulaan yang cukup , dua alat bukti. Itu contoh bukti yang kabur. Ini penerapan hukum ini. Jadi penerapan hukum itu berbeda dengan penegakan hukum.

Kalau penegakan hukum bisa saja faktor-faktor yang mempengaruhi itu banyak sekali. Faktor politik misalnya. A, itu itu bukan urusan saya, orang-orang politik tetapi saya tahu. Hakim juga begitu. Kenapa memutuskan seperti ini. Hakim tahu, gak bodoh itu, ada persoalan  politik tapi bukan urusannya. Jadi sulit untuk tidak mengatakan bahwa kasus ini terkait dengan persoalan politik. Itu sulit. Apalagi tadi sudah ya terkena seperti itu dijelaskan semua.  Tetapi kita membahasnya dari situ. Apakah berwenang ? Berwenang. Coba kita lihat putusannya. Jadi kalau ingin berpendapat, baca dulu putusannya. Jangan lalu, ada koran, ada selentingan, ada isu, wah itu kebablasan hakimnya itu. Dibaca dulu lah. Dibaca disini. Saya baca sebentar bang Karni.

“Dalam mengadili dalam eksepsi, menolak eksepsi termohon seluruhnya.”
Berarti termohon KPK ini salah. Jelas disini. Kemudian yang kedua,
“Dalam pokok perkara, mengabulkan permohonan praperadilan sebagian.
Karena dianggap tidak sependapat hakim kalau ini, a, dikatakan materiil. Terselubung lah istilahnya itu. Dia tidak sependapat. Betul dia. Kemudian,
“memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas tindak pidana korupsi bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap CS.
Ini betul. Betul ini. Jadi putusannya  sangat bagus dari aspek argumentasi hukum, penalaran hukum dan logika hukum. Sangat betul.

Saya mengasuh mata kuliah Hukum Acara Pidana itu 25 tahun. Apa yang saya jelaskan disini dari dulu ya saya sama saja karena hukumnya seperti itu, gitu. Nah, Ini betul putusan ini. Jadi bukan dia itu, bukan hakim ini menetapkan tersangka. Enggak.  Justru dia memerintahkan. Mengapa memerintahkan ? karena putusan itu dalam putusan hakim ada amar. Amar itu bahasa arab artinya perintah. Memerintahkan dia. Memerintahkan. Hei, begini, bahasa awamnya. Hei penyidik, kamu itu salah prosesnya, prosedurnya. Salah. Ini memang urusan praperadilan. Wong kamu sudah tahu kok itu diputus bahwa itu ada dilneming. Ada penyertaan. Bahwa ditetapkan Budi Mulya dinyatakan bersalah bersama-sama melakukan tindak pidana. Artinya ada dilneming disini yang dinormatifkan pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Dilneming itu adalah ajaran umum tentang ‘turut serta’ yang digagas oleh Prof. Von vayer bach, pakar hukum pidana jerman pada abad 17. Waktu abad 17, hukum pidana itu yang penting ada yang bertanggung jawab meskipun dilakukan banyak orang. Kejahatan saya yang bertanggung jawab. Ya sudah cukup. Abad 17. Tetapi dirasakan oleh pakar hukum waktu itu, Von vayer Bach. Ini tidak adil Karena kejahatan dilakukan banyak orang. Gak adil maka dia membuat, menggagas ajaran yang disebut dilneming, penyertaan.


Ini sejak awal sudah diputuskan ada dilenimng. Maka hakim praperadilan mengingatkan. Bukan menetapkan dia. Mengingatkan dan memang wewenangnya itu. Ketika proses dan prosedur dalam hukum acara pidana dikesampingkan entah itu disengaja atau samar-samar maka wajib hakim praperadilan memerintahkan. “Hei, lakukan yang baik kau. Prosedur, proses. Lakukan. Kenapa itu sudah diputuskan begini, kau ndak tetapkan tersangka saja?” Diperintahkan. Jadi inilah yang benar. Inilah yang benar.


Karni Ilyas : … baik Prof. … …

Makanya saya sampaikan, tegakkan hukum itu dengan etika dan keadilan. Sebab tanpa etika dan keadilan, hukum pidana akan menjadi kekerasan yang diformalkan oleh negara.

#########################################################################3
Penerjemah imraan dari video klip acara ILC TV ONE tanggal 17 April 2018. Kebetulan saya lupa menyimpan alamat url video yang saya terjemahkan dan setelah mencari ulang juga belum ketemu, akhirnya saya gunakan alamat url unggahan lain tapi tanpa merubah banyak terjemahan. Hanya berbeda 1 menit diawal tentang perkenalan Pak Karyni Ilyas tentang pembicara berikutnya, M. Sholehudin

Dalam ILC TV One Selasa 17 April 2018 dikutip dari video klip https://www.youtube.com/watch?v=M75VUHBpbYU

JUARA MERDEKA 2019

Assalamu'alaikum Halo Guys n Gals Agustus 2019 ini Negara Indonesia memasuki usia 74 tahun sejak kemerdekannya pada 17 Agustus 1945 ...